Ketika “Memperhatikan” tidak lagi Mengkhawatirkan Perempuan

Oleh : ATIKA TRIANA, S.PT
Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia

Gender bukan perbedaan biologis antara Laki-laki dan Perempuan. Gender merupakan Kontruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kesetaraan Gender bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan atas haknya agar dapat mampu mampu berperan dan berpartisipasi tanpa adanya beban ganda, sub ordinasi, marginalisasi/mengabaikan salah satu pihak. Dengan demikian hak akses dan partisipasi untuk mendapatkan manfaat, kontrol bersama dapat terpenuhi dan menciptakan kesetaraan dan keadilan Gender.

Gerakan untuk mendorong kesetaran dan keadilan gender telah banyak dilakukan oleh berbagai organisasi, salah satunya yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bekerjasama dengan KPU Provinsi Sumatera Barat mengadakan workshop yang bertajuk “Memperkuat Kebijakan Responsif Gender di Lembaga Penyelenggara Pemilu” di Aula KPU Provinsi. Workshop ini bertujuan memperkuat kapasitas dan memformulasikan kebijakan yang responsif gender, sekaligus merumuskan rekomendasi kebijakan yang diatur dalam peraturan penyelenggara pemilu.

Kebijakan responsif gender secara sederhana didefenisikan sebagai kebijakan atau program yang memiliki fokus perhatian untuk menanggulangi kesenjangan akses dan partisipasi antara perempuan dan laki-laki. Kebijakan ini dapat dilakukan di lembaga penyelenggara pemilu sebagai institusi yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan tata kelola pemilu.

Jaminan Hukum Partisipasi Perempuan

UUD 1945 telah menjamin persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki di Indonesia pada Pasal 27 ayat 1, yakni : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Selain itu amanat dan mandat konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (2). Pasal 28H ayat (2) menyebutkan : Setiap orang berhak mendapat, kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Sebelumnya juga dalam pasal 22 ayat (1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Memaknai kata adil, untuk mewujudkan pemilu sebagai sarana menciptakan pemerintahan yang demokratis diperlukan partisipasi politik seluruh rakyat baik laki-laki maupun perempuan.

Begitu juga dengan kesempatan sebagai penyelenggara pemilu. Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan dan proses politik ataupun kepemiluan pada sebuah negara sangatlah penting dalam demokrasi. Hak setara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial serta non diskriminasi yang merupakan  prinsip hak asasi manusia yang paling mendasar dan bagian integral dari demokrasi.

Upaya meningkatkan Affirmative Action                                    

Keterwakilan perempuan untuk terlibat sebagai anggota KPU RI ataupun Bawaslu RI sangat minim. Ini terbukti dari jumlah komposisi yang mewakili keanggotaan KPU RI dan Bawaslu RI terpilih. Undang-undang penyelenggara pemilu sebelum maupun setelah revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 pada pasal 6 ayat (5) menjadi Undang-Undang  Pemilu Nomor 7 tahun 2017 pasal 10 ayat 7 . “ Komposisi anggotaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Serta Pasal 92 ayat (11). Komposisi anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi,  Meskipun tidak ada penghalang formal untuk keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu namun peluang keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu ini masih mengalami hambatan dan faktanya masih dapat dilihat terdapat ketimpangan gender di dalam struktur keanggotaan KPU ini. Secara kuantitatif angka keterwakilan 30% perempuan dalam rekrutmen “Penyelenggara Pemilu”belum sepenuhnya mampu mendorong peningkatan keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Terdapat masih ada dan kabupaten/kota yang tidak memiliki keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu. Kondisi hingga saat ini perempuan yang terpilih sebagai penyelenggara pemilu masih minim. Frasa “Memperhatikan” bisa memiliki makna yang berbeda. Ini dinilai kurang jelas, kurang tegas dan multitafsir. Kehadiran Perempuan bisa ada dan bisa juga tidak ada serta tidak ada sanksi yang mengatur bila tidak terpenuhi komposisi perempuan 30% ( tiga puluh persen). Karena tidak ada regulasi yang mengatur keharusan atau kewajiban keterpilihan perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Gema emansipasi perempuan yang menggaungkan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam membangun suatu peradaban sosial salah satunya adalah mewujudkan affirmative action yang didorong oleh regulasi demi kesetaraan dan keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu. Aspek regulasi, sistem, prosedur dan tata kelola pemilu mampu mengakomodasi kepentingan pemilih perempuan. Keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu juga mampu mendorong terwujudnya kesetaraan gander di dalam ruang publik. Perempuan yang menduduki posisi sebagai penyelenggara pemilu berpotensi dapat merangkul kelompok-kelompok marginal, karena secara pengalaman kelompok perempuan memiliki kedekatan dengan kelompok tersebut.

Untuk  mewujudkan gerakan affirmative action  dan mengawal keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni dari sisi :

a. Regulasi

Berbagai upaya hukum untuk mendorong keterwakilan perempuan tersebut salah satunya dengan melakukan Judisial Review terhadap Frasa “Memperhatikan” ke Mahkamah Konstitusi. Berbagai pihak seperti Perludem, Puskapol UI dan Pusako  yang selalu menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender dilembaga penyelenggara pemilu bahkan mengharapakan komposisi yang  lebih dari 30% (tiga puluh persen) sebagai penyelenggara pemilu. Upaya untuk melakukan perubahan/revisi regulasi yang menuangkan “mewajibkan” keterwakilan perempuan didalam petunjuk teknis (PKPU/PerBawaslu) agar keterwakilan perempuan lebih tegas dan berkepastian hukum.

b. Penguatan kapasitas perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Penyelenggara  Pemilu harus mempunyai kompetensi yang memadai untuk menyusun kebijakan serta tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara pemilu. Menghadapi dan menyelesaikan seluruh kompleksitas dan dinamika dalam penyelenggaran pemilu secara terukur dan proporsional meskipun innovasi dan terobosan juga tidak lepas dari pekerjaan yang dilakukan sepanjang relevan dan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan yang tidak bertentangan dengan kode etik penyelenggara pemilu. Beragam upaya yang dapat direkomendasi untuk meningkatkan kapasitas perempuan sebagai penyelenggara pemilu antara lain :

  • Memperbesar akses perempuan terhadap informasi serta pengetahuan tata kelola pemilu dan penyelenggaraan pemilu yang responsif gender.
  • Menjalin sinergi dengan mitra kerja untuk melakukan dan memperkuat kaderisasi untuk regenerasi perempuan pemimpin.
  • Mampu mempersiapkan diri secara profesional sebagai penyelenggara (mampu menyelesaikan urusan domestiknya).
  • Memperkuat dan memiliki jejaring untuk saling bersinergi dan mendukung satu sama lainnya sebagai perempuan.
  • Mempublikasikan kinerja perempuan penyelenggara pemilu untuk membangun kepercayan publik (bila sebelumnya sudah menjadi penyelenggara).Meningkatkan kapasitas perempuan untuk menjadi penyelenggara pemilu sehingga dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai penyelenggara pemilu. Bekerjasama dengan berbagai NGO atau organisasi terkait peningkatan kapasitas perempuan menjadi penyelenggara pemilu  sekaligus dapat memperluas jaringan untuk memperkuat perempuan dalam berkompetisi.
  • Memahami seluruh prinsip – prinsip penyelenggaran dalam menjunjung tinggi Integritas dan  Profesionalitas dalam bekerja.
  • Menjamin dan memperluas kesempatan perempuan untuk berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu.
  • Bekerjasama dengan berbagai NGO atau organisasi terkait peningkatan kapasitas perempuan menjadi penyelenggara pemilu sehingga sekaligus dapat memperluas jaringan untuk memperkuat perempuan dalam berkompetisi.

Strategi untuk berpartisipasi dalam seleksi perempuan sebagai penyelenggara pemilu

Untuk itu agenda gerakan perempuan diharapkan mampu mengusung konektivitas gerakan gender gap dalam strategi menghadapi seleksi sebagai penyelenggara pemilu. Perempuan perlu meningkatkan kualitas dan kapasitas diri dalam memahami tata kelola pemilu. Untuk itu, berikut beberapa hal yang perlu dilakukan dalam mengetengahkan agenda keadilan dan kesetaraan gender dalam real action, antara lain :

  1. Penguatan/perubahan regulasi aturan keterwakilan perempuan Penyelenggara Pemilu dalam UU Pemilu dan Pemilihan, serta regulasi dalam petunjuk teknis (PKPU/PerBawaslu) serta aturan terkait lainnya, pembenahan sistem rekrutmen dalam penyelenggara pemilu yang lebih berprespektif gender.
  2. Memperkuat pendidikan politik perempuan sebagai langkah awal penyadaran perempuan terkait hak dan peran politiknya.
  3. Memperkuat kapasitas perempuan penyelenggara pemilu, menjalin sinergi dengan mitra kerja untuk melakukan dan memperkuat kaderisasi untuk regenerasi perempuan pemimpin.
  4. Mampu mempersiapkan diri secara profesional sebagai penyelenggara (mampu menyelesaikan urusan domestiknya).
  5. Memperkuat dan memiliki jejaring untuk saling bersinergi dan mendukung satu sama lainnya sebagai perempuan.
  6. Mempublikasikan kinerja perempuan penyelenggara pemilu untuk membangun kepercayan publik (bila sebelumnya sudah menjadi penyelenggara)

Pada akhirnya dengan kemampuan, kompetensi, akses terhadap informasi dapat dimiliki oleh perempuan untuk menjadi penyelenggara pemilu sejatinya Frasa “Memperhatikan Keterwakilan Perempuan sekurang-kurangnya 30 %” bukan lagi hal yang dapat mengganggu dan mengancam  apalagi mengkhawatirkan kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu. Upaya Peningkatan kualitas peran perempuan harus serius sekaligus pembuktian bahwa perempuan mampu bekerja dan meningkatkan kapasitas dirinya untuk terpilih dan menempati posisi sebagai penyelenggara pemilu sehingga regulasi terkait penyertaan perempuan menjadi penyelenggara pemilu dapat diperkuat dengan hadirnya perempuan penyelenggara pemilu yang kredibel dan profesional dalam menjalankan prinsip-prinsip penyelenggaraan tidak hanya 30 % bahkan bisa lebih dari itu.

Rekomendasi dan Saran dalam seleksi Penyelenggara Pemilu

1. Regulasi

Dalam UU Pemilu  No 7 Tahun 2017 Frasa yang berbunyi “ memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%” bisa menimbulkan multi tafsir yang bisa memiliki makna yang tidak dapat menjamin keberadaan perempuan terpilih sebagai penyelenggara pemilu. Frasa tersebut juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sebab dianggap tidak mengakomodasi kepentingan perempuan.Semestinya perempuan hadir sebagai penyelenggara pemilu harus mutlak ada dan diatur didalam regulasi.

2. Adanya gerakan-gerakan semacam pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten untuk membantu peningkatan kapasitas perempuan untuk menjadi penyelenggara sehingga memperoleh kemampuan yang setara/seimbang dengan laki-laki. Sekaligus mendorong perempuan yang belum pernah menjadi penyelenggara untuk menempati posisi dibadan publik sehingga dapat muncul diruang publik.

3. Persepektif gender yang harus dimiliki tim seleksi penyelenggara pemilu.

4. Komposisi dari timsel yang mempunyai keterwakilan perempuan minimal 30 persen sehingga mampu mendorong keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

5. Salah satu usulan yang dapat dipertimbangkan adalah membedakan hasil test. Bisa dilakukan dari setiap tahapan seleksi untuk  membuka peluang agar jumlah perempuan dapat cukup memadai hingga tahap akhir seleksi (wawancara). Sebab tidak semua timsel menganggap penting unsur keterwakilan perempuan sebagai  penyelenggara.

Peningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu adalah bagian dari upaya mendorong partisipasi politik perempuan. Besarnya keterlibatan perempuan dalam pemilu dapat dipengaruhi oleh kebijakan dan program yang disusun oleh penyelenggara pemilu. Penting disadari penyelenggara pemilu secara sadar dan proaktif mengikutsertakan gender ke dalam analisis, perencanaan dan implementasi seluruh proses dan kegiatan kepemiluan. Penyelenggara pemilu yang menerapkan praktek dan kebijakan yang responsif gender akan dapat melakukan jauh lebih banyak untuk mengarusutamakan gender secara lebih menyeluruh dan bermakna dalam proses dan kegiatan kepemiluan. Keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu ini akan memainkan peran utama dalam memaksimalkan keikutsertaan perempuan dalam pemilu. Pada gilirannya hal ini akan membangun masyarakat yang lebih terwakili dan demokratis. Salah satu wujud negara yang demokratis adalah menciptakan kesetaraan dan keadilan atas hak setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan.

Share this artikel :

facebook twitter email whatapps

Dilihat 332 Kali.